Pengumpulan data catatan tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan berdasarkan pemetaan laporan kasus-kasus kekeran terhadap peempuan yang diterima dan ditangai oleh berbagai institusi pemerintah yang tersebar di hapir semua provinsi di Indonesia. Metode yang dilakukan Komnas Perempuan adalah dengan beberapa cara:
1. Berkejasama dengan pemerintah yang telah memiliki mekanisme membangun dan mengolah data dari seluruh Provinsi di Indonesia, yaitu Badan Peradilan Agama.
2. Mengirimkan formulir kuesioner yang perlu diisi oleh lembaga-lembaga yang menangani perempuan korban kekerasan, baik pemerintah maupun organisasi masyarakat sipil.
3. Mengolah data pengaduan yang langsung datang Komnas Perempuan dari Unit Pengaduna dan Rujukan maupun dari email.
4. Menjajikan tambahan data dari mitra berdasarkan kelompok perempuan rentan yaitu kekerasan terhadap komunitas minoritas seksual, disabilitas, perempuan dengan HIV, serta WHRD (Women Human Defender).
Jumlah perempuan korban kekerasan tahun 2019 dalam CATAHU 2020 (jumlah KTP Tahun 2008-2019) menunjukan bahwa dalam kurun waktu 12 tahun, kekerasan terhadap perempuan meningkat sebanyak 792% (hampir 800%) artinya kekerasan terhadap perempuan di Indonesia selama 12 tahun meningkat hampir 8 kali lipat. Dalam situasi ini artinya kondisi perempuan Indonesia jauh mengalami kehidupan yang tidak aman. Bila setiap tahun kecenderungan kekerasan terhadap perempuan konsisten mengalami peningkatan, menunjukan tiadanya perlindungan dan kemanan terhadap perempuan telah terjadi pembiaran.Setiap
tahunnya CATAHU selalu mencatan data pengaduan langsung ke Komnas Perempuan
terpisah dengan data yang dikumpulkan dari lembaga layanan untuk menghindari
terjadinya doublecounting. Perempuan diantaranya membutuhkan bantuan,
dukungan, perlindungan, kasus menemui hambatan dalam artian telah melapor ke
institusi terkait namun tidak ada respon atau penanganan lebih lanjut, lembaga
layanan yang sulit diakses dan tidak berjalan secara maksimal, dan lainnya. Pengaduan
langsung ke Komnas Perempuan di bawah koordinasi Sub Komisi Pemantauan, melalui
dua mekanisme pengaduan yaitu:
1.
Unit Pengaduan untuk Rujukan (UPR) yang didirikan sejak tahun 2005 untuk
menerima pengaduan yang datang langsung maupun melalui telepon.
2.
Divisi Pemantauan yang menerima pengaduan lewat surat dan email.
Komnas
Perempuan untuk dapat menyelesaikan kasus yang dihadapinya dan semakin tinggi
kesadaran masyarakat untuk melaporkan kasus kekerasan yang dialami di
lingkungannya. Juga menggambarkan kebutuhan masyarakat untuk didengar dan
direspon atas peristiwa pelanggaran dan kejahatan yang dialaminya. Sekaligus
menjadi catatan bagi Komnas Perempuan dalam mensosialisasikan mandat Komnas
Perempuan dalam penghapusan kekerasan terhadap perempuan sebagai kekerasan
berbasis gender. Kasus kekerasan terhadap istri (KTI), teridentifikasi berbagai
macam bentuk kekerasan di antaranya yang paling dominan adalah kekerasan psikis
berupa perselingkuhan, pengancaman, kekerasan verbal berupa caci maki, kriminalisasi:
suami melaporkan istri dengan pasal penelantaran anak dalam UU Perlindungan Anak
karena istri bekerja dan menitipkan anak ke pengasuh sementara suami tidak
bekerja, suami melaporkan istri dengan pasal memasuki pekarangan rumah bersama,
suami melaporkan istri siri melakukan pemerasan karena meminta sejumlah uang
dan rumah hingga istri siri saat ini sedang mendekam di Lapas Sukamiskin, Jawa
Barat, dan lain sebagainya.
Bentuk
kekerasan lainnya yang cukup marak adalah kekerasan seksual menggunakan
teknologi media atau cybercrime. Seperti yang terjadi pada seorang istri korban
KDRT yang sedang mengajukan gugatan cerai di Pengadilan Agama Bekasi, suami
malahan melarang istri bertemu anak dan mengirimkan foto-foto telanjang istri
ke
beberapa rekan kerja istri. Untuk meredam tindakan suami, istri terpaksa
mencabut gugatan dan kembali lagi ke rumah. Terjadi pula pada seorang istri
yang sedang mengajukan permohonan pembatalan pernikahan, setelah mengetahui suaminya
telah menikah dengan perempuan lain. Suami membuat akun facebook dan instagram palsu
dengan nama dan foto-foto istri. Suami mengancam video seks mereka berdua juga
akan disebar di akun-akun ini. Karena ketakutan permohonan pembatalan
pernikahan ini pun dicabut.
Kecenderungan
Kekerasan Seksual terjadi pada relasi pacaran dengan latar belakang pendidikan
paling tinggi SLTA, baik sebagai korban maupun pelaku. Kondisi ini disebabkan kurangnya
pemahaman seksualitas dan kesehatan reproduksi di usia seksual aktif sehingga perempuan
rentan menjadi korban kekerasan seksual. Oleh karena itu pendidikan Kesehatan Reproduksi
dan Seksualitas (Pendidikan Seksualitas Komprehensif) dalam kebijakan pendidikan
di indonesia sangat dibutuhkan.